Sumber Kesaksian: Endang
"Saya melihat anak saya yang nomor tiga itu nggak bisa...nyuapin pun saya nggak bisa. Nyuapin salah-salah terus, ke telinga, ke mata...saya sering nyuapi sembari menangis...sedih karena nggak bisa nyuapin sendiri..."
Semasa kecil, Endang pernah terjatuh dari ketinggian dengan cukup keras. Dan karena kejadian itu, semakin Endang beranjak dewasa penglihatannya semakin menurun. Puncaknya ialah ketika Endang menikah dan mempunyai anak.
"... setiap kali saya melahirkan, maka makin bertambah menurun penglihatan saya. Tapi kesepakatan saya dan suami saya, namanya perkawinan kan ingin punya anak dan bahagia. Jadi hal-hal itu sudah kami sepakati, tidak apa-apa lah..."
Karena takut terjadi sesuatu, Endang kembali memeriksakan matanya ke dokter.
"Tapi saya dinasehati dokter itu bahwa suatu saat saya akan kehilangan penglihatan saya. Dan dokter itu mengatakan kepada saya bahwa saya tidak boleh berpikir hanya dengan emosi, dengan pikiran dan dengan perasaan saja, tapi saya harus juga berpikir peka dan nyata. "Ibu mulai dari sekarang harus mulai belajar huruf braile" katanya".
Adalah kabar yang sangat mengejutkan bagi seorang ibu yang ketika itu harus membesarkan anak-anaknya yang masih kecil.
"Yang terlintas di pikiran saya ialah aduh, bagaimana nanti kalau saya buta? Saya bisa berbuat apa? Aduh saya bakal ngerepotin orang banyak, saya bakal ngerepotin saudara, aduh nanti suami saya sudah nggak mau lagi dengan saya...
aduh dia pasti nanti dengan orang lain dan ninggalin saya. Pokoknya hal-hal yang mencemaskan dan membuat saya kuatir dan putus asa dan membuat saya merasa saya tidak berguna lagi. Saya ketakutan sekali dan saya sangat minder, mider sekali... Saya sering diejek dan dicemooh orang... kalau di pesta misalnya saya sering makan keliru atau makan berantakan... suka ada yang cekikikan dan ketawa... saya malu!".
Perasaan depresi yang begitu dalam mengisi hari-hari Endang, hingga suatu hari dengan pikiran yang kalut Endang mencoba mengakhiri hidupnya....Ketika silet hendak menyayat tangannya, tiba-tiba Theresia, anak Endang yang kedua menangis karena rebutan mainan dengan kakaknya. Endang tersentak dan segera lari keluar kamar menghampiri anaknya.
"Saya mendengar jeritannya, dan saya buang silet itu. Anak saya saya tubruk, saya menangis sejadi-jadinya dan saya mohon ampun sama Tuhan. Hampir saja saya melakukan kebodohan itu..."
"Beberapa minggu kemudian saya diajak melayat karena ada tetangga saya yang meninggal dunia, seorang ibu. Terus anaknya yang kira-kira umur tiga tahun datang ke jenasah itu dan jenasah itu digoyang-goyang sambil teriak-teriak "mak.. bangun mak..." berkali-kali. Saya semakin menangis dan semakin saya sadar bahwa bagaimanapun seorang ibu masih dibutuhkan oleh anak-anaknya".
Motivasi dari teman-teman sangat membantu bagi pemulihan Endang. Lewat dukungan dari keluarga dan teman itulah semangat hidup Endang bangkit kembali. Kini sebagai tuna netra, Endang bisa menikmati hidupnya bersama orang-orang tercinta.
"Ya, walaupun saya nggak bisa sembuh secara kenyataan, tapi saya tidak menyesali..."
Anak Endang, Theresia juga memiliki perasaan yang sama: "Saya tidak pernah punya perasaan malu atau minder dengan keadaan ibu. Saya justru merasa bangga karena memiliki seorang ibu yang begitu kuat dan tabah dalam menghadapi kekurangannya itu, untuk menghadapi hidupnya"
Endangpun bersyukur. "Tuhan telah menganugerahkan suami yang terbaik bagi saya dan ayah yang baik bagi anak-anak saya dan anak-anak yang sangat baik bagi saya. Saya sungguh bersyukur. Dan saya juga bersyukur diberi teman-teman, sahabat. Semua telah diberikan kepada saya. Saya bersyukur sekali. Saya sungguh bersyukur....Saya sungguh berterimakasih kepada Tuhan. Tuhan begitu mengasihi saya".
Bersyukurlah kepada Allah segala allah! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. Mazmur 136:2